Kunci Sukses Dunia Akhirat

Kunci Sukses Dunia Akhirat

Pagi tadi, sebelum pelajaran dimulai, seperti biasa saya bercerita kepada anak-anak. Kebiasaan ini coba saya rutinkan setiap pagi. Menurut sebuah penelitian, bercerita itu lebih “menghujam” kuat di memori 22 kali dibandingkan data dan angka. Saya akhirnya faham kenapa dalam Al-Qur’an mayoritas gaya penyampaiannya dengan bercerita.

Bercerita bisa dilakukan kepada siapapun. Karena sudah menjadi fitrah manusia senang mendengar cerita. Hanya gaya penyampaiannya saja yang dibedakan sesuai objek pendengar cerita. Saya yang kebetulan guru SD tentu harus bercerita dengan bahasa seringan mungkin, semudah mungkin untuk dicerna. Saya hindari istilah-istilah yang njelimet.

Cerita yang saya sampaikan ke anak-anak tadi pagi mengenai pentingnya ilmu dan iman. Diawali dengan cerita mengenai saya, yang menjadi “gurunya para guru”, rada nyombong dikit hehehe, tapi tujuannya untuk memotivasi siswa (ngeles mode on). Dengan sedikit ilmu yang saya miliki, tentunya juga dengan izin Allah, saya bisa mengisi pelatihan di berbagai tempat di Indonesia. Diantaranya besok (30/3/18) akan berangkat ke Surabaya.

Jadi pagi ini saya jadikan diri ini sebagai cermin. Agar murid-murid saya bisa melihat ke dalam diri, harapannya bisa menjadi motivasi bagi mereka. Saya ceritakan kepada mereka bahwa kunci dari kesuksesan dunia akhirat adalah iman dan ilmu. Maka bukan hanya tubuh yang memerlukan makanan bergizi, hati dan otak pun membutuhkannya. Makanan bergizi untuk hati adalah iman, untuk otak adalah ilmu.

Saya pun bercerita bahwa saat ini di wilayah kita sedang terjadi industrialisasi. Pabrik baru banyak didirikan. Bandara Internasional pun segera diresmikan. Saya bertanya pada para siswa, “kalian tahu siapa yang bekerja di sana?” Dengan antusias salah satu siswi menjawab, “Kakak saya Paaaaa”.

“Iya betul,” kata saya. “Kalau boleh tahu, kakakmu bekerja sebagai apa?”.

“Tukang sapu Pak”, kata murid saya sambil tersenyum malu.

“Bagus,” saya merespon. “Apapun pekerjaannya, selama itu halal dan dikerjakan dengan ikhlas, mendapat kedudukan yang mulia di sisi Allah.”

“Namun Bapak sedih, bangsa kita ternyata kebanyakan hanya mengisi posisi bawahan,” raut wajah saya berubah jadi sedih.

Cerita saya lanjutkan mengenai fakta bahwa bangsa kita belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangankan di luar, di dalam negeri saja banyak posisi pimpinan perusahaan yang ditempati orang asing.

Pun ketika bekerja di luar negeri, bangsa kita hanya menjadi, maaf, pembantu.

Maka itulah pentingnya ilmu dan iman, agar sukses duna akhirat. Saya sampaikan pada mereka, “Semoga generasi kalian ini kelak menjadi pimpinan di berbagai perusahaan dan lembaga, baik dalam maupun luar negeri. Spontan semua berteriak dengan semangat “Aaaamiiiiiin”.

Cerita saya tutup dengan memberikan mereka tugas, untuk membuat jadwal kegiatan sehari-hari. Harus ada alokasi untuk belajar dalam jadwal tersebut. Dikumpulkan minggu depan.