KARAKTERISTIK DAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN BAGI ANAK BERKELAINAN

KARAKTERISTIK DAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN BAGI ANAK BERKELAINAN

Perkembangan Peserta Didik

LATAR BELAKANG

                   Proses belajar mengajar atau proses pengajaran merupakan suatu kegiatan melaksanakan kurikulum agar suatu lembaga pendidikan dapat mempengaruhi para siswa sehingga tujuan pendidikan yang telah ditentukan dan diterapkan dapat tercapai. Proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah-sekolah memiliki tujuan yang sama dengan tujuan Pendidikan Nasional, oleh karena itu peningkatan prestasi belajar siswa terus diupayakan oleh pihak sekolah maupun pemerintah.

Pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Menurut Surya (2004:7) bahwa ”dalam pembelajaran lebih menekankan kepada sutu proses pengajaran (bagi guru) dan belajar (bagi siswa) sehingga interaksi keduanya lebih luas pada pengajaran dan proses belajar mengajar”.

Pendidikan adalah suatu proses kehidupan yang menyeluruh mencakup pengalaman-pengalaman yang direncanakan dan tidak direncanakan yang memungkinkan anak dan orang dewasa untuk berkembang dan belajar melalui interaksi dengan masyarakat dan budaya di mana mereka berada yang dijalani sejak masa bayi sampai tua (Ashkan, 1994).

Pendidikan mencakup pula penyesuaian diri terhadap masyarakat dan budaya. Dalam peristiwa-peristiwa kehidupan, adaptasi berarti bahwa setiap orang adalah unik dalam belajar melalui jenjang sekolah yang dimulai sejak pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi.

Bagi orang-orang yang baru memasuki dunia pendidikan atau tidak mengenal kegiatan pembelajaran di sekolah, istilah anak-anak dengan kebutuhan khusus mungkin hanya berarti anak-anak yang lambat atau terbelakang yang tidak akan pernah berhasil di sekolah seperti anak-anak lainnya. Untuk sebagian orang hal itu berarti bahwa untuk anak-anak ini harapan memperoleh kehidupan normal tidak akan dapat direalisasikan.

Terdapat banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang memerlukan bantuan khusus yang intensif pada sekolah atau sekolah khusus dari guru-guru yang telah dilatih secara tersendiri untuk membantu mereka. Namun banyak juga di antara mereka yang bersekolah di sekolah terdekat baginya, mengikuti pelajaran di kelas-kelas biasa. Mereka memperoleh kebaikan dan keuntungan di tempat ini di mana dilaksanakan pelayanan pendidikan yang dirancang untuk anak-anak agar belajar lebih efektif.

Pendidikan khusus telah menyediakan filsafat untuk mendukung dan melandasi pelayanan pendidikan di mana terjadi proses belajar dan pembelajaran. Hal itu akan sangat penting dan bermanfaat untuk merangkum beberapa hal penting tentang pendidikan khusus. Pertama, pendidikan khusus adalah suatu konsep relatif yang didefinisikan sebagai suatu program yang membutuhkan sumber-sumber untuk menyajikan pendidikan yang memadai bagi semua siswa yang berkebutuhan khusus. Kedua, pendidikan khusus adalah suatu istilah yang umum yang merujuk kepada sekelompok program atau pelayanan yang didesain untuk memenuhi kebutuhan siswa yang khusus atau berkelainan. Ketiga, pendidikan khusus telah menjadi pengkajian dan landasan bagi strategi dan teknik pembelajaran. Keempat pendidikan khusus mempunyai karakter ekonomi dan politik yang unik.

Setiap anak memiliki perbedaan baik perbedaan fisik maupun perbedaan cara berpikir dan kemampuan intelektualnya. Perbedaan-perbedaan ini sering dikenal oleh orang tua yang memperbandingkan perkembangan prestasi anak-anaknya dengan prestasi anak-anak lain misalnya sebagian anak belajar berbicara pada usia yang lebih mudah daripada anak-anak lainnya sebagian telah dapat memahami dan menggunakan ide ide dan konsep yang kompleks sebelum yang lain.

Melalui observasi dan eksperimen pada abad yang lalu telah ditemukan bahwa perkembangan fisik, mental, dan keterampilan sangat berkaitan dengan usia. Untuk bidang terkait dengan fisik dan motorik kita dapat merujuk kepada grafik atau skala perkembangan anak, sedangkan untuk mengetahui perkembangan domain intelektual rujukan paling utama adalah intelegensi quotient (IQ) dan menggunakan tes kecerdasan. Dari hal yang diperoleh dapat diketahui apakah seorang anak pada usia tertentu berkembang sesuai dengan standar yang dikenal ataukah ia berada di atas atau di bawah standar tersebut. Anak-anak yang berada di luar tentang tersebut adalah mereka yang memerlukan pendidikan khusus atau bahkan pendidikan khusus bagi mereka merupakan kebutuhan esensial.

 

TUJUAN

                   Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah diharapkan para pembaca dapat mengetahui karakteristik dan kebutuhan pendidik bagi anak yang:

Berkelainan fisik.

Berkesulitan Psikis

Berkesulitan belajar

 

LANDASAN TEORI

Anak Berkelainan Fisik

                        Karakteristik umum kesulitan yang dialami oleh anak anak yang berkelainan fisik dapat dijelaskan atas hal-hal berikut:

kesulitan memproses terjadi bila gangguan saraf menghambat diterimanya informasi atau untuk mengungkap sesuatu secara memadai.

kesulitan dalam motivasi terjadi bila kebutuhan akan usaha pribadi berinteraksi dengan image diri dan percaya diri yang berakibat pada berbagai tingkat motivasi.

kesulitan berpartisipasi terjadi bila gangguan fisik menghambat kemampuan anak untuk bergabung dalam kegiatan kelas.

Beberapa kelainan fisik secara singkat diuraikan di bawah ini.

Cerebral Palsy

The world commission on cerebral palsy mendefinisikan cerebral palsy sebagai ketidaknormalan gerakan dan postur karena gangguan atau ketidakmatangan otak (Denhoff, 1966). Sulit untuk menentukan dengan pasti tentang kapan terjadinya perkembangan otak dan bagian-bagian sistem saraf pusat.

                                 Sistem saraf tumbuh pesat selama dalam kandungan yang berlanjut setelah lahir kadang-kadang sampai umur 2 atau 3 tahun. Tanda-tanda dan gejala gangguan intelektual sensori perseptual dan perilaku dapat muncul sendiri atau gabungan dari padanya dalam berbagai tingkat yang bervariasi pada anak yang mengalami cerebral palsy.

2. Spina Bifida

Spina bifida ini adalah gangguan saraf pengobatan yang sangat kontras dengan cerebral palsy. Gangguan saraf pada spina bifida terpusat sedangkan pada cerebral palsy gangguannya menyebar.

Spina bifida terjadi kebanyakan pada waktu kelahiran yang menyebabkan kelainan pada balita dan masa anak, antara lain mencakup kelumpuhan kaki dan kekurangmampuan mengontrol buang air kecil. Fisioterapi diperlukan untuk melatih anak berjalan.

Gangguan lain yang terjadi pada spina bifida dan sering memerlukan bantuan operasi adalah hydrocephalus. Gangguan ini terjadi karena bertambahnya cairan di otak berakibat tekanan dan membesarnya tulang kepala.

3. Epilepsi

Epilepsi adalah salah satu gangguan saraf yang mempengaruhi pendidikan anak. Seringkali tidak nampak adanya kelainan fisik walaupun epilepsi menyertai banyak gangguan saraf seperti cerebral palsy dan hydrocephalus.

Convulsion adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang, bila gangguan pada bagian otak tertentu menyebabkan kehilangan kendali atas satu atau lebih aspek-aspek dari kegiatan tubuh. Kondisi ini telah didokumentasikan sepanjang sejarah. Orang-orang terkenal seperti Agatha Christie, Cecil Rhodes, Tchaihovsky, Napoleon dan Julio Cesar adalah sebagian orang yang mengalami kelainan tersebut di atas. Sayangnya pada masa yang lalu orang-orang yang mengalami Convulsion ditakuti. Sampai saat ini pun masih ada rasa takut terhadap penderita epilepsi yang parah. Hal ini menambah permasalahan yang harus dipecahkan karena merupakan masalah psikologis dan pendidikan.

                                 Studi tentang kebutuhan anak-anak dengan kelainan fisik akan selaras dengan pemahaman tentang kebutuhan semua anak. Tentang metode pembelajaran yang dibutuhkan, pola perilaku yang ditunjukkan, keragaman atau variasi tingkat prestasi serta tentang hubungan interprofessional memberikan sumbangan kepada pemahaman tentang kompleksitas pertumbuhan dan perkembangan manusia.

Karakteristik dan kebutuhan pendidikan anak yang berkelainan psikis

Keterbelakangan mental adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan orang-orang yang mempunyai kesulitan-kesulitan dalam mengatasi masalah, memahami pemikiran pemikiran dan konsep-konsep dan dalam mempelajari keterampilan keterampilan akademi seperti membaca, menulis, dan berhitung.

Ketidakmampuan intelektual mengidentifikasikan sekelompok orang yang mempunyai karakteristik khusus. Permasalahan-permasalahan di bidang akademik seringkali dihubungkan dengan kesulitan-kesulitan dalam membangun interaksi sosial, dalam mempelajari keterampilan-keterampilan dasar untuk membantu dirinya sendiri dan dalam mencari pekerjaan.

Sejak dekade pertama abad ke 20 sampai awal tahun 1960, penyebutan kemampuan intelektual didasarkan pada rendahnya angka yang diperoleh dari tes inteligensi.

Menurut Bower (1981) siswa yang emosinya terganggu mempunyai karakteristik berikut.

ketidakmampuan belajar yang tidak dapat diterangkan dengan faktor kesehatan intelektual dan sensorik.

ketidakmampuan membangun dan mempertahankan hubungan interpersonal dengan teman dan guru nya.

bentuk perilaku dan perasaan yang tidak memadai tapi berada di bawah normal.

menunjukkan ketidak bahagiaan dan berada dalam suasana depresi.

Karakteristik yang dikemukakan Bower di atas dianggap penting karena menunjukkan tipe-tipe perilaku yang dianggap terganggu. Disamping itu pendapat Bower menyadarkan kita juga betapa sulitnya mendefinisikan penyimpangan perilaku yang mencakup tingkat durasi variasi perilaku dan hubungan antara kondisi kondisi ketidakmampuan lainnya.

Peserta Didik Autis

Autis berasal dari bahasa Yunani dari kata autos, yang berarti diri. Istilah Ini pertama kali diperkenalkan oleh Eugene Bleur, seorang psikiater pada tahun 1910. Istilah ini menjadi populer di kalangan ilmuwan pada tahun 1938 ketika Hans Asperger dari Universitas Wina menggunakan istilah ini dalam psikologi anak. Dalam perkembangannya kemudian autisme telah didefinisikan secara beragam mulai dari kelainan akibat kemasukan roh halus sampai gangguan emosional karena pola pengasuhan yang buruk. Mulai dari sakit jiwa sampai gangguan emosional. Mulai dari retardasi mental sampai gangguan tidur dan akhir-akhir ini autisme dianggap sebagai gangguan perkembangan yang terjadi menjelang atau setelah kelahiran yang mempengaruhi cara kerja otak mengolah informasi yang masuk. Dalam perkembangan mutakhir pandangan yang lebih banyak disepakati adalah pandangan terakhir yang memandang autis sebagai terjadinya gangguan fungsi otak yang mempengaruhi fungsi menerima mengolah dan menerjemahkan informasi dalam perilaku.

Persoalan mengenai faktor penyebab terjadinya autis sampai saat ini belum tuntas. Pada permulaannya pandangan yang dominan menyebutkan autis merupakan dampak dari perlakuan ibu yang dingin dan tidak peduli atau dikenal dengan istilah refrigator mother. Namun pandangan ini mulai ditinggalkan. Selain faktor genetik dan lingkungan yang tercemar populasi, pandangan yang lebih mendapat dukungan ilmuwan mengungkapkan bahwa kelainan sistem kerja otak terutama pada lapisan korteks serebral, cerebellum dan sistem limbik merupakan penyebab autistik pada anak.

Karakteristik anak autis

Berdasarkan penelaahan terhadap beberapa referensi dapat dikemukakan bahwa karakteristik pada perilaku anak autis adalah:

1)  anak tampak seperti tuli sulit berbicara atau pernah berbicara tetapi kemudian sirna.anak tidak dapat mengikuti jalan pikiran orang lain dan tidak mempunyai empati dan tidak tahu apa reaksi orang lain atas perbuatannya. Akibatnya anak suka bersosialisasi dengan lingkungannya.

2)  pemahaman anak sangat kurang sehingga apa yang dia baca sukar dipahami. Dalam belajar mereka lebih mudah memahami lewat gambar-gambar.

3) kadangkala anak mempunyai daya ingat yang sangat kuat seperti perkalian kalender dan lagu-lagu.

4)  anak mengalami kesukaran dalam mengekspresikan perasaannya seperti suka marah mudah frustrasi bila tidak dimengerti dan dapat menimbulkan tantrum.

5)  memperhatikan perilaku simulasi diri seperti bergoyang-goyang mengepalkan tangan seperti burung berputar-putar mendekatkan mata ke pesawat TV.

Strategi pembelajaran anak autis

Dalam interaksi yang terjadi antara pendidik dan peserta didik keberadaan strategis tidak dapat dikesampingkan. Strategi pembelajaran sebagaimana dikemukakan Wina Sanjaya adalah perencanaan yang berisi serangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (2007:126). Berkaitan dengan anak autis, pilihan strategi yang digunakan beranjak dari strategi individual sampai pada penggunaan strategi kelompok bagi anak yang telah menunjukkan adanya peningkatan kemampuan. Strategi individual didahulukan sebab anak-anak autis merupakan individu yang sangat unik. Artinya dalam penerapannya baik menyangkut isi metode dan tahapan yang sangat bervariasi disesuaikan dengan taraf perkembangan peserta didik.

Dalam uji coba dan penerapannya strategi yang kerap digunakan untuk anak autis mengacu pada teori ABC yang diperkenalkan psikolog Loovas atau juga dikenal dengan Applied Behavior Analysis (ABA). Rangkaian strategi ini dimulai dengan pemberian instruksi atau anteseden atau pra kejadian yakni pemberian instruksi kepada anak baik berupa perintah meniru pertanyaan atau visual dan memberi kesempatan kepada anak untuk memberikan respon. Instruksi diberikan ketika anak sudah siap yang diberikan dengan suara yang jelas. Setelah 3-4 anak diharapkan akan memberikan perilaku atau respon sesuai dengan instruksi. Untuk membuat respon anak bertahan maka diperlukan urutan baik berupa penguatan atau bantuan kepada anak-anak untuk memberikan jawaban yang benar.

Karakteristik dan kebutuhan pendidikan anak berkesulitan belajar

Filsafat pendidikan bagi kelas khusus

Konsep ketidakmampuan belajar muncul sebagai bagian dari tantangan bahwa semua anak akan secara otomatis belajar pada saat mereka mencapai kesiapan dan kematangan. Anak-anak yang ber ketidakmampuan telah ditempatkan dalam kelas-kelas terpisah sehingga pembelajaran khusus dalam kelompok-kelompok kecil dengan guru-guru yang terlatih secara khusus akan membantunya mencapai kemajuan.

Modifikasi tugas-tugas disesuaikan dengan kemampuan dan gaya belajar siswa. Bagian esensial dari proses perencanaan dan evaluasi siswa yang mengalami kesulitan belajar mencakup penganalisaan kemampuan dan gaya belajar yang berkaitan dengan tugas-tugas instruksional yang terjadi di kelas. Para guru harus yakin apakah kemampuan siswa akan memungkinkan mereka mendapat manfaat dari kurikulum di kelas yang ditempatinya. Bila materi dari tugas-tugas akademik dalam proses pembelajaran dapat dipadukan dengan kesiapan siswa untuk belajar dengan gaya belajar mereka progress siswa dalam belajar dapat dimaksimalkan.

Perkembangan siswa dapat dipengaruhi oleh hakikat tugas-tugas yang dihadapinya di kelas. Beberapa modifikasi tugas untuk memfasilitasi perkembangan siswa diuraikan berikut ini.

1) Modifikasi tugas disesuaikan pada kesiapan siswa

Komentar orang tua bahwa anak saya tidak dapat mengingat apapun seringkali terdengar. Sesungguhnya tidak terjadi seperti itu. Sebagian anak mungkin tidak dapat mempelajari sesuatu sebagaimana yang diharapkan pada usia tertentu tetapi mereka sebenarnya dapat mempelajari keterampilan keterampilan dasar lebih mudah baginya.

Para ahli teori tentang kematangan mengingatkan untuk tidak terlalu banyak mengajar terlalu dini sehingga mengurangi penguasaan keterampilan dasar yang penting.

Bila pembelajaran demikian terjadi maka kebiasaan-kebiasaan yang salah akan dipelajari yang kemudian kelak harus dibuang lagi. Anak yang telah berusaha untuk belajar tapi selalu gagal mungkin akan kehilangan motivasi untuk mencobanya lagi. Akibatnya untuk mengajarkan materi yang benar pada saat yang tepat menjadi kritis.

2)  Modifikasi proses-proses tugas disesuaikan dengan gaya gaya belajar siswa.

Meichenbaum (1976) menyarankan tiga langkah dalam modifikasi tugas.

a) Manipulasi tugas

Temukan dalam keadaan apa seorang siswa dapat mendemonstrasikan kompetensinya misalnya dengan menggunakan modalitas yang berbeda untuk menyajikan suatu informasi.

b) Mengubah lingkungan.

Perhatikan dan temukan Apakah siswa dapat melakukan sesuatu dengan baik dalam suatu lingkungan ideal tempat dia belajar dan mengerjakan tugas dengan aman dan nyaman.

c) Berikan dukungan.

Berikan dukungan dan bimbingan dalam mengerjakan tugas dengan menjelaskannya bagian demi bagian. Berikan umpan balik pada hasil belajar dan asuh tugasnya.

Sekolah inklusif

Konsep pendidikan inklusif

Pendidikan inklusif berangkat dari pemikiran bahwa hak mendapatkan pendidikan merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar. Pendidikan inklusif merupakan suatu pandangan yang menuntut adanya perubahan layanan pendidikan yang tidak diskriminatif, menghargai perbedaan dan pemenuhan kebutuhan setiap individu berdasarkan kemampuannya. Pendidikan inklusif adalah sebuah proses yang sistematis mengantarkan anak-anak berkebutuhan khusus dan kelompok anak tertentu pada usia yang sama ke dalam lingkungan yang alami di mana umumnya anak-anak bermain dan belajar (Phil Gorengan, 2001).

Dalam konteks bangsa Indonesia yang sedang berjuang mempertahankan kesatuan dan persatuan nya sebagai bangsa, pendidikan inklusif memiliki makna yang sangat penting. Pendidikan inklusif dapat diperluas maknanya bukan hanya dalam konteks anak yang membutuhkan layanan pendidikan luar biasa tetapi juga dalam konteks mempersatukan kebhinekaan bangsa Indonesia. Dalam konteks yang lebih luas kebhinekaan siswa tidak hanya dipandang dari sudut ekonomi berkelainan dan normal tetapi mencakup perspektif yang sangat luas. Kebhinekaan vertikal mencakup perbedaan kecerdasan kekuatan fisik, ketajaman sensoris, kepekaan sosial dan kematangan emosional. Kebhinekaan horizontal mencakup perbedaan ras, suku, adat istiadat, agama dan berbagai variabel lain yang tidak dapat dibedakan secara kualitatif karena memiliki kesetaraan. Adanya kebhinekaan vertikal dan horizontal menuntut diselenggarakannya pendidikan inklusif.

 

 

b. Prinsip pendidikan inklusif dalam pembelajaran

Konsep paling mendasar dalam pendidikan inklusif adalah bagaimana agar peserta didik dapat belajar bersama dan belajar untuk dapat hidup bersama. Mulyono dalam Sri Wahyu Ambarwati (2005) mengidentifikasikan prinsip pendidikan inklusif ke dalam 9 elemen dasar yang memungkinkan pendidikan inklusif dapat dilaksanakan.

1)  sikap guru yang positif terhadap kebhinekaan merupakan elemen paling penting dalam pendidikan inklusif adalah sikap guru terhadap siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus.

2)  adanya interaksi promotif yaitu upaya untuk saling menolong dan saling memberi motivasi dalam belajar.

3)  pencapaian kompetensi akademik dan sosial yaitu perencanaan pembelajaran harus melibatkan tidak hanya pencapaian tujuan akademik tetapi juga tujuan keterampilan bekerja sama.

4)  pembelajaran adaptif maksudnya pembelajaran tidak hanya ditujukan kepada peserta didik dengan problema belajar tetapi juga untuk peserta didik yang dikaruniai keunggulan.

5)  konsultasi kolaboratif yaitu untuk melakukan tindakan pencegahan dan rehabilitasi siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus di kelas reguler.

6)  hidup dan belajar dalam masyarakat yaitu semua siswa tidak peduli betapa pun perbedaannya harus dipandang sebagai individu untuk yang memiliki potensi kemanusiaan yang harus dikembangkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan.

7)  hubungan kemitraan antara sekolah dengan keluarga yaitu upaya memberdayakan semua potensi kemanusiaan siswa agar dapat berkembang optimal dan terintegrasi.

8)  belajar dan berpikir independen maksudnya adalah karakteristik siswa berkesulitan belajar semacam itu maka guru perlu memiliki kemampuan untuk memberikan dorongan atau motivasi dengan menerapkan berbagai teknik terutama yang berkenaan dengan manajemen perilaku atau memodifikasi perilaku sehingga siswa dapat mencapai perkembangan kognitif Tara tinggi dan kreatif agar mampu berpikir independen.

9)  belajar sepanjang hayat, maksudnya adalah pendidikan di sekolah sebagai bagian dari perjalanan panjang hidup seorang manusia dan manusia belajar sepanjang hayat yang memiliki makna yaitu melalui setelah menguasai berbagai kompetensi yang menjadi tuntutan kurikulum dan upaya untuk naik kelas.

Prosedur pembelajaran yang inklusif

1) Pembentukan tim pembelajaran inklusif

Dalam proses pembentukan tim, kepala sekolah merupakan ujung tombak. Dalam tim itu kepala sekolah memiliki posisi sebagai koordinator dan konsultan bagi para guru dan orang tua.

2) Mengidentifikasi kebutuhan.

Mengidentifikasi kebutuhan dan mempertimbangkan hal hal yaitu ukuran kelas, materi pelajaran, strategi pembelajaran, kemampuan dan gaya belajar peserta didik. Apakah ada peserta didik yang membutuhkan bantuan khusus atau tambahan. Data yang diperlukan meliputi riwayat hidup anak, kebiasaan-kebiasaan atau perilaku yang ditunjukkan sudah bantuan yang sering atau pernah dilakukan orang tua misalnya ketika orang tua berhadapan dengan putranya pada saat ia belajar berkomunikasi memberi respon terhadap perintah dan kebiasaan-kebiasaan tertentu yang sering diperlihatkan,, dan lain-lain.

3) Mengembangkan tujuan pembelajaran

Tujuan jangka panjang merupakan tujuan yang akan ditempuh dalam jangka waktu relatif panjang mungkin untuk satu semester atau untuk satu tahun. Sementara tujuan jangka pendek merupakan tujuan yang akan melihat terjadinya perubahan perilaku yang diharapkan dalam waktu yang relatif singkat. Untuk itu ditujukan jangka pendek ini yang dapat dirumuskan secara spesifik, jelas, mudah diukur yang sifatnya bisa kuantitatif atau kualitatif. Rumusan semacam itu akan memungkinkan guru dapat melakukan pilihan keberhasilan belajar peserta didik secara efektif.

4)  Merancang pengembangan pembelajaran.

Proses pembelajaran yang dirancang hendaknya mampu menggambarkan bagaimana setiap tujuan pembelajaran itu akan dapat diselesaikan serta bagaimana penilaian keberhasilan peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Proses pembelajaran mungkin dirancang dengan cara mengelompokkan peserta didik berdasarkan kondisi dan materi yang akan dibelajarkan secara kooperatif mungkin sangat heterogen dan dikelola lebih bersifat Individual.

5)  Menentukan evaluasi kemajuan.

Evaluasi kemajuan belajar hendaknya mengukur derajat pencapaian tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan dalam setiap tujuan jangka pendek. Hal penting yang harus dicamkan dalam melakukan evaluasi keberhasilan peserta didik adalah melihat terjadinya perubahan perilaku pada diri peserta didik itu sendiri sebelum dan sesudah diberikan perlakuan dan bukan membandingkan keberhasilan tingkat pencapaian tujuan belajar yang dicapai dengan peserta didik lain yang ada di kelas itu.

Penilaian bagi peserta didik berkelainan.

                   Evaluasi kemajuan belajar hendaknya mengukur derajat pencapaian tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan dalam setiap tujuan jangka pendek. Hal penting yang harus dicamkan dalam melakukan evaluasi keberhasilan peserta didik adalah melihat terjadinya perubahan perilaku pada diri peserta didik itu sendiri sebelum dan setelah diberi perlakuan dan bukan membandingkan keberhasilan tingkat pencapaian tujuan belajar yang dicapai dengan peserta didik lain yang ada di kelas itu.

Laporan evaluasi kemajuan peserta didik bisa gabungan kuantitatif dan kualitatif sebab cara penilaian ini akan memberi gambaran secara nyata dan real serta tidak akan mengaburkan gambaran kemampuan yang sesungguhnya dicapai peserta didik. Program pembelajaran hendaknya diperbaiki secara terus-menerus perubahan itu hendaknya merujuk kepada pencapaian tujuan yang telah dan sedang diselesaikan serta temuan-temuan yang diperoleh berdasarkan observasi selama proses pembelajaran berlangsung.

 

IMPLEMENTASI

                   Peksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama dengan pelaksanaan kegiaan belajar-mengajar di kelas reguler. Namun demikian, karena di dalam kelas inklusif di samping terdapat anak normal juga terdapat anak luar biasa yang mengalami kelainan/penyimpangan (baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis) dibanding dengan anak normal, maka dalam kegiatan belajar-mengajar guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak.

Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar hendaknya disesuaikan
dengan model penempatan anak luar biasa yang dipilih. Seperti dijelaskan pada
buku “Mengenal Pendidikan Inklusif”, penempatan anak luar biasa di sekolah
inklusif dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut:

Kelas reguler (inklusi penuh)

Kelas reguler dengan cluster

Kelas reguler dengan pull out

Kelas reguler dengan cluster dan pull out

Kelas khusus dengan berhagai pengintegrasian

Kelas khusus penuh.

Kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif akan berbeda baik dalam srategi, kegiatan media, dan metoda. Beberapa kegiatan belajar mungkin dilakukan berdasarkan literatur-literatur tertentu, sementara yang lainnya belajar yang sama akan lebih efektif apabila melalui observasi dan eksperimen. Beberapa anak memerlukan alat bantu tulis untuk mengingat sesuatu, mungkin yang lainnya cukup dengan hanya mendengarkan. Beberapa siswa mungkin memerlukan kertas dari pensil untuk mengingat suatu hubungan tertentu. sementara beberapa sisa lainnya cukup mengingat dengan hanya melihat saja. Beberapa siswa mungkin lebih senang belajar secara individual, sedangkan yang lainnya lebih senang secara berkelompok. Hilda Taba mengemukakan, bahwa berbedanya kebutuhan individu berbeda pula di dalam teknik belajar dalam upaya mengemhangkan dirinya. Dewasa ini isitilah strategi belajar banyak dipergunakan di dalam teori kognitif dan penelitian. Hal itu berhubungan dengan strategi individu dalam hal pemusatan perhatian, pemecahan rnasalah. mengingat dan mengawasi proses belajar dan pemecahan masalah.

Hambatan belajar dapat berasal dan kesulitan menentukan strategi belajar dan metoda belajar lainnya sebagai akibat dan faktor-faktor biologis, psikologis, lingkungan, atau gabungan dan beberapa faktor tersebut. Sebagai contoh gangguan sensori seperti hilangnya penglihatan atau pendengaran, merupakan hambatan dalam memperoleh masukkan informasi dan luar berfungsi minimal otak mungkin akan berakibat yang cukup serius terhadap konsentrasi.

Pelaksanaan kegiatan belajar menjadi model kelas tertentu mungkin berbeda dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pada model kelas yang lain. Pada model Kelas Reguler (Inklusi Penuh), bahan belajar antara anak luar biasa dengan anak normal mungkin tidak berbeda secara signifikan namun pada model Kelas Reguler dengan Cluster, bahan belajar antara anak luar biasa dengan anak normal biasanya tidak sama, bahkan antara sesama anak luar biasa pun dapat berbeda. Oleh karena itu, setelah ditetapkan model penempatan anak luar biasa, yang perlu dilakukan berikutnya dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar pada kelas inklusif antara lain seperti di bawah ini.

1. Merencanakan Kegiatan Belajar Mengajar

a. Merencanakan Pengelolaan Kelas

Menentukan ruang kelas sesuai dengan tujuan pembelajaran

Menentukan cara pengorganisasian siswa agar setiap siswa dapat terlihat secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar, misalnya:

1)  Individual

2)  Berpasangan

3)  Kelompok kecil

4) Klasikal

d. Merencanakan Pengorganisasian Bahan

1)  Menetapkan bahan utama (pokok) yang akan diajarkan

2)  Menentukan bahan pengadaan untuk siswa yang pandai

3)  Menentukan hahan remidi uiuuk sisa sang kurang pandat.

e. Merencanakan Pengelolaan Kegitaan Belajar Mengajar

1)  Merumuskan tujuan pembelajaran

2)  Menentukan metode mengajar

3)  Menentukan urutan/langkah-langkah mengajar, misalnya:

a)  Pembukaan/apersepsi

b) Kegiatan ini

c) Penutup/evaluasi

f. Merencanakan Penggunaan Sumber Belajar

1)  Menentukan sumber bahan pelajaran (misalnya Buku Paket, Buku Pelengkap, dan sebagainya)

2)  Menentukan sumber belajar (misalnya globe, foto, benda asli, benda tiruan, lingkungan alam, dan sebagainya)

g. Merencanakan Penilaian

1)  Menentukan bentuk penilaian (misalnya tes lisan, tes tertulis, tes perbuatan)

2)  Membuat alat penilaian (menuliskan soal-soalnya)

3)  Menentukan tindak lanjut.

2. Melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar

a. Berkomunikasi dengan Siswa

1)  Melakukan apersepsi

2)  Menjelaskan tujuan mengajar

3)  Menjelaskan isi/materi pelajaran.

4)  Mengklarifikasi penjelasan apabila siswa salah mengerti atau belum
paham.

5)  Menanggapi respon atau pertanyaan siswa

6)  Menutup pe1ajaran (misalnya merangkum, meringkas, menyimpulkan,
dan sebagainya)

b. Mengimplementasaikan Metode, Sumber Belajar, dan Bahan Latihan yang sesuai dengan tujuan Pembelajaran.

1)  Menggunakan metode mengajar yang bervariasi (misalnya ceramah, tanya jawab, diskusi, pemberian tugas, dan sebagainya)

2)  Menggunakan berbagai sumber belajar (misalnya globe, foto, benda asli, benda tiruan, lingkungan alam, dan sebagainya)

3)  Memberikan tugas/lauhan dengan memperhatikan perhedaan individual

4)  Menggunakan ekspresi lisan dan/atau penjelasan tertulis yang dapat mempermudah siswa untuk memahami materi yang diajarkan.

c. Mendorong Siswa untuk Terlibat Secara Aktif

1)  Memberi kesempatan kepada siswa untuk terlihat secara aktif (misalnya dengan mengajukan pertanyaan, memberi tugas tertentu, mengadakan percohaan berdiskusi secara berpasangan atau dalam kelompok kecil, belajar berkooperatif)

2) Memberi penguatan kepada siswa agar terus terhihat secara aktif

3) Memberikan pengayaan (tugas-tugas tambahan) kepada siswa yang pandai

4)  Memberikan latihan-latihan khusus (remidi) bagi siswa yang dianggap memerlukan.

d. Mendemostrasikan Penguasaan Materi Pelajaran dan Relevansinya dalam Kehidupan.

1)  Mendemostrasikan Penguasaan materi pelajaran secara meyakinkan (tidak ragu-ragu)

2)  Menjelaskan relevansinya materi pe1ajaran yang sedang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari.

e. Mengelola Waktu, Ruang, Bahan, dan Perlengkapan Pengajaran

1)  Menggunakan waktu pengajaran secara efektif sesuai dengan yang
direncanakan.

2)  Mengelola ruang kelas sesuai dengan karakteristik siswa dan tujuan pembelajaran.

3)  Menggunakan bahan pengajaran (misalnya bahan praktikum) secara etisien

4)  Menggunakan pertengkapan pengajaran (misalnya peralatan percohaan) secara efektifdan efisien.

f. Melakukan Evaluasi

1)  Melakukan penilaian selama kegiataan belajar-mengajar berlangsung (baik secara lisan, tertulis, maupun pengamatan)

2)  Mengadakan tindak lanjut hasil penilaan.

3. Pembinaan Hubungan Antarpribadi

a. Bersikap Terbuka Toleran, dan Simpati terhadap Siswa

Menunjukkan sikap terbuka (misalnya mendengarkan, menerima, dan sebagainya terhadap pendapat sisa.

Menunjukkan sikap toleran (mau mengerti) terhadap siswa.

Menunjukkan sikap simpati (misalnya menunjukkan hasrat untuk memherikan bantuan) terhadap permasalahan/kesulitan yang dihadapi siswa.

Menunukkan sikap sahar (tidak niudah marah dan kasib sayang terhadp siswa.

e. Menampilkan Kegairahan dan Kesungguhan

1)  Menunjukkan kegairahan dalam mengajar

2)  Merangsang minat siswa untuk belajar

3)  Memberikan kesan kepada siswa bahwa ia menguasai bahan yang diajarkan

f. Mengelola lnteraksi Antarpribadi

Memberikan ganjaran (reward) terhadap siswa yang berhasil

Memberikan bimbingan khusus terhadap siswa yang belum berhasil

Memberikan dorongan agar terjadi interaksi antarsiswa

Memberikan dorongan agar terjadi interaksi anatara siswa dengan guru

 

PENUTUP

1. Filosofi pendidikan bagi anak berkesulitan belajar adalah pada saat mereka mencapai kesiapan dan kematangan yang disetting dalam kelas oleh guru berbagai modifikasi tugas yang disesuaikan dengan gaya-gaya belajar yang memudahkan baginya menyerap materi yang disajikan dengan cara yang khusus pula.

2. Jadikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar setiap anak usia sekolah tanpa kecuali memperoleh haknya untuk terpenuhi kebutuhan pendidikannya. Pendidikan yang memberikan layanan kepada semua peserta didik tanpa memandang kondisi fisik mental intelektual sosial emosi ekonomi jenis kelamin suku budaya tempat tinggal bahasa dan sebagainya. Semua peserta didik belajar bersama-sama baik di sekolah atau kelas formal maupun nonformal yang berada di dekat tempat tinggalnya yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing peserta didik. Dalam kaitan nya dengan wajib pencapaian pendidikan untuk semua mata pendidikan inklusif dapat diposisikan sebagai strategi untuk mendorong terlaksananya pendidikan untuk semua waktu wajib belajar. Pada tahap awal diarahkan untuk meningkatkan pencapaian pendidikan secara kuantitas dan pada tahap berikutnya sampai pada peningkatan kualitas pendidikan.

Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari pelaksanaan kurikulum. Baik buruknya mutu pendidikan atau mutu lulusan dipengaruhi oleh musuh kegiatan belajar mengajar. Film mutu lulusan yang bagus dapat diprediksi bahwa mu tuh kegiatan belajar mengajar nya juga bagus. Atau sebaliknya bilang untuk kegiatan belajar mengajar nya bagus makam urusannya juga akan bagus. Lingkungan yang inklusif merupakan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran mengakomodasi keanekaragaman peserta didik. Pada tahap awal dapat diarahkan kepada sekolah yang ramah yaitu sekolah yang terbuka kepada semua peserta didik menghargai perbedaan dan memenuhi kebutuhan yang beragam dari setiap peserta didiknya. Pembelajaran inklusif berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat menerima dan menghargai perbedaan. Pembelajaran di kelas inklusif akan bergeser dari pendekatan pembelajaran kompetitif yang kaku mengacu materi tertentu atau pendekatan pembelajaran kooperatif yang melibatkan kerjasama antar peserta didik dan bahan pelajaran dikembangkan secara tematik dan kontekstual.

Kegiatan pembelajaran dirancang sesuai kemampuan dan kebutuhan peserta didik serta mengacu kepada kurikulum yang telah dikembangkan. Kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan maksud untuk mencapai tujuan pembelajaran. Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif dan efisien guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran. Pembelajaran dalam setting inklusif selain menerapkan prinsip prinsip umum pembelajaran juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kebutuhan dan hambatan peserta didik berkebutuhan khusus. Untuk memenuhi kebutuhan peserta didik yang beragam pembelajaran dalam setting inklusif diperlukan asesmen yang akan dipertimbangkan dalam menyusun pembelajaran yang di individualisasi kan. Pembelajaran yang multilevel menjadi ciri dan pelaksanaan yang dikembangkan dalam setting kelas yang sama.

 

DAFTAR PUSTAKA

Sumantri, Mulyani. (2017). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Universitas Terbuka

Kegiatan Belajar Mengajar Di Sekolah Inklusif